Fenomena komunitas relawan pengawal Ambulans kini kembali ramai jadi pembicaraan di tengah masyarakat. Komunitas ini dianggap kerap menyalahi aturan.
Kehadiran komunitas relawan pengawal ambulans kembali jadi sorotan masyarakat. Di balik jasa mereka dalam membantu ambulans membawa pasien, ada masalah yang kerap dianggap negatif oleh masyarakat.
Penggunaan sirine dan strobo misalnya. Berdasarkan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hanya kendaraan tertentu saja yang boleh menggunakan alat penanda ini.
Penggunaan lampu strobo dan sirine sudah diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tertulis dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, lampu isyarat dan/atau sirine dipasang pada kendaraan bermotor untuk kepentingan tertentu.
Adapun ketentuan penggunaan lampu isyarat tersebut antara lain:
a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan
c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus.
Dalam artian, kendaraan pribadi yang tidak masuk dalam kategori yang dimaksud dalam undang-undang tersebut tidak boleh menggunakannya.
Ditambah lagi, sikap arogansi yang dilakukan oleh oknum anggota komunitas relawan ini seringkali menimbulkan masalah di jalan. Tak pelak, banyak masyakarat yang merasa terganggu dengan kehadirannya.
Dalam hal ini, Road Safety Association (RSA) sangat menyayangkan kegiatan ini banyak bertentangan dengan aturan yang berlaku. RSA beranggapan para pelaku pengawalan ini belum terbukti memiliki keahlian khusus dalam melakukan protokol prioritas di jalan raya, hal ini dapat membahayakan pengguna jalan lain dan juga mengganggu kenyamanan.
Sebagaimana diketahui yang menjadi prioritas saat ada Ambulans melintas adalah kendaraan Ambulans itu sendiri bukan pada pengawalannya.
RSA juga sudah sering mendapatkan keluhan dari masyarakat atas fenomena ini. Untuk hal ini, RSA memilih untuk untuk langsung berkomunikasi dengan para pemangku kebijakan, guna menghindari konflik horisontal yang lebih jauh.
Untuk itulah, RSA telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada Kepala Korlantas Polri dan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan – Kementrian Kesehatan. Sejauh ini, Kakorlantas Polri telah memberikan tanggapan. Sementara Dirjen Yankes Kemenkes belum memberikan tanggapan atas surat yang dikirimkan oleh RSA.
“Korlantas Polri memberikan respon dengan baik surat kami dalam waktu yang cukup singkat, dengan mempertegas kembali, bahwa semua yang berkendara wajib mematuhi peraturan lalu lintas, dan meminta kepada seluruh Polda dapat membantu kelancaran ambulans saat dibutuhkan, surat tersebut juga ditembuskan kepada Bapak Kapolri,” tulis RSA dalam rilisnya.
Chairman RSA, Ivan Virnanda mengungkapkan bahwa seluruh pemangku kebijakan harus sesegera mungkin melakukan ketegasan demi menghindari konflik yang bakal terjadi.
“Pemangku kebijakan harus mengeluarkan ketegasan, guna menghindari konflik horisontal dan demi meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum,” ungkap Ivan kepada redaksi jurnalbikers.com.
RSA sejatinya juga sangat mengapresiasi kegiatan komunitas relawan tersebut. Meski demikian, RSA berharap komunitas-komunitas ini menempuh jalur dengan tetap dalam koridor hukum yang berlaku dalam merealisasikan idealismenya.
Discussion about this post